Tahukah kamu, uang bukan sekadar kertas atau logam yang dingin. Ia bukan benda mati yang tersimpan di dompet, bukan angka yang beku di layar ponsel. Uang adalah pengembara yang tahu kepada siapa ia harus datang dan kapan waktu yang tepat untuk berkunjung.
Ia tidak tersesat. Ia berjalan dengan takdirnya sendiri, mengetuk pintu manusia pada saat yang kadang kita sebut keberuntungan, kadang kita sebut keajaiban, kadang pula kita salah pahami sebagai hasil kerja keras semata.
Padahal uang tidak pernah benar-benar kita miliki. Ia hanya menumpang singgah, seperti tamu yang datang membawa pesan, kemudian berlalu ketika waktunya selesai. Dompet kita hanyalah persinggahan sementara sebelum ia melanjutkan perjalanannya menuju tangan lain yang telah ditakdirkan.
Dan setiap kali uang berpindah, ada makna yang tersembunyi di balik perjalanannya. Ia datang untuk menebus kebutuhan, untuk menguji hati yang serakah, atau untuk mengalirkan rezeki kepada mereka yang berdoa dalam diam.
Uang tidak diam, ia hidup dalam perputaran. Ia berputar seperti musim: datang, memberi, pergi, dan kembali dalam wujud yang lain. Kadang ia datang dengan wajah bahagia, kadang dengan pelajaran yang pahit. Namun setiap perjalanannya membawa cerita tentang sebab dan akibat, tentang pilihan dan konsekuensi.
Manusia sering berpikir uang datang karena kerja keras. Betul, kerja keras mengundang hasil, tapi uang tidak selalu tunduk pada rumus logika. Ia lebih sering bergerak menurut irama takdir dan niat hati. Banyak yang bekerja siang malam tapi uang menjauh, banyak pula yang memberi dengan tulus lalu uang datang tanpa diminta.
Karena uang mengenal energi hatimu. Ia mengenali tangan yang ikhlas dan tangan yang tamak. Ia mengenali jalan menuju manusia yang siap menggunakannya untuk kebaikan.
Ia seakan berbisik, “Aku bukan tujuan, aku hanya perantara. Aku bukan tuhan, aku hanya alat untuk menguji hatimu.”
Dan kelak ketika kita tiada, uang tetap melanjutkan ziarahnya-melintasi warisan, transaksi, amal, dan dusta. Ia terus mencari rumah baru, sementara manusia yang dahulu menggenggamnya telah menjadi tanah, kembali diam, tak lagi berkehendak.
Maka jangan terlalu mencintai uang, karena ia tidak mengenal kesetiaan. Ia akan datang dan pergi menurut waktunya, sebagaimana nasib datang dan pergi menurut kehendak Tuhan.
Lebih baik engkau jadikan uang sebagai sahabat perjalanan, bukan tuan yang mengikat, bukan musuh yang ditakuti. Gunakan ia untuk menyalakan lentera hidup, bukan membangun tembok keserakahan.
Sebab pada akhirnya, yang kekal bukanlah uang yang kau simpan, tetapi jejak kebaikan yang kau tanam dengan uang itu.
Selama uang masih kau simpan ditanganmu, di dompetmu, di brankarsmu, maka kamu masih menjadi budak uang, karena senantiasa memikirkannya. Tapi manakala uangmu kamu keluarkan, kamu sedekahkan maka uang akan menjagamu dan mengawalmu sampai akhirat.




